For Your Info: Keyakinan Dan Kesabaran


For Your Info: Keyakinan Dan Kesabaran.

Muslim Inggris Bangun Peradaban


Muslim Inggris Bangun PeradabanJumlah umat Islam di Kerajaan Inggris dari tahun ke tahun terus bertambah meskipun banyak berita miring soal agama itu yang selalu dikaitkan dengan teroris.

Berita miring tentang Islam itu ternyata justru membuat masyarakat di negeri Ratu Elizabeth ingin mengetahui lebih jauh mengenai agama tersebut.

Bahkan, sejumlah pihak menyatakan, muslim di Inggris sebenarnya telah berhasil memasukkan nilai-nilai tradisi Islam dalam budaya masyarakat lokal.

Berdirinya berbagai masjid di London, Birmingham, Bristol, Nottingham, Leeds, Bradford, Manchester, hingga Glasgow di Skotlandia mengubah wajah geografi kota-kota di Inggris.

Bukanlah sesuatu yang aneh jika kini perempuan muslim berjilbab dengan berbagai mode terlihat di ruang publik, di pusat pertokoan, atau di pusat berbelanjaan seperti Oxford Street.

Penampilan mereka akan berbanding terbalik dengan keberadaan busana musim panas yang buka-bukaan.

Di negeri itu juga berdiri berbagai lembaga sosial Islam, seperti “Shariah Council” yang berperan sebagai pengadilan agama untuk masalah pernikahan-perceraian dan warisan, Bank Syariah dan lembaga pendidikan, baik tingkat dasar dan menengah maupun perguruan tinggi.

Sekolah Islam seperti Karimia di Nottingham dan Muslim College di London yang didirikan Yusuf Islam, penyayi pop asli Inggris yang bernama asli Cat Steven, memberikan pilihan bagi orang tua muslim untuk pendidikan putra-putrinya.

Perguruan tinggi Islam juga mulai berdiri, seperti Aga Khan yang didirikan keluarga Shiah Ismailis di London serta “Markfield Institute of Islamic Studies” di Leicester.

Menurut Amika Wardana, mahasiswa doktoral bidang sosiologi tentang masyarakat muslim di University of Essex, komunitas muslim di Eropa telah berkembang dan berhasil mewarnai kehidupan sosial-budaya dan bahkan politik serta ekonomi.

“Sudah tidak tepat membicarakan hubungan antara muslim dan Barat, karena muslim sendiri sudah ada di Barat,” ujar anggota Muslim Britain Research Network (MBRN) itu.

Saat ini jumlah muslim di Eropa Barat mencapai 12 juta dengan perincian, kurang lebih 4,5 juta di Prancis, tiga juta di Jerman, 1,6 juta di Inggris, dan sisanya tersebar di berbagai negara lain termasuk Belanda, Spanyol, dan Italia.

Kebanyakan umat Muslim di Eropa adalah imigran atau pendatang dari Asia Selatan; Pakistan, India, dan Bangladesh. Sebagian lain dari Afrika yang pada mulanya datang sebagai pekerja musiman setelah perang dunia kedua.

Jumlah muslim kulit putih atau penduduk asli yang menjadi mualaf memang tidak terlalu dominan, namun dengan pemberitaan yang terus tersebar mengenai Islam, mulai banyak di antar warga asli yang ingin mengetahui mengenai Islam.

Lembaga “Step to Allah” yang dibentuk M Hilal, pria lajang asal Singapura, setiap minggu mengadakan pengajian bagi kaum mualaf yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai Islam.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2001, Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut penduduk Inggris atau sekitar 2,7 persen berbanding 71 persen Kristen-Katolik, 15,5 persen tidak beragama, dan sisanya beragama Yahudi, Hindu, Budha, Sikh.

Amika Wardhana, yang melakukan pengamatan mengenai umat muslim di Inggris, menyebutkan, dari 1,2 juta muslim di Inggris, sebagian besar berasal dari Asia Selatan.

Tidak heran nuansa Islam di Inggris sangat kental dengan tradisi dan budaya India-Pakistan-Bangladesh, ujar lulusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 2003 itu.
Hal itu terlihat dengan banyaknya khutbah Jumat dan kajian Islam disampaikan dalam bahasa Urdu, sebagian kecil dalam bahasa Arab, dan hanya beberapa dalam bahasa Inggris.

Muslim kulit putih
Komunitas muslim sebenarnya sudah ada di Inggris sejak abad ke-16 Masehi. Hubungan diplomatik antara Kerajaan Inggris dan Turki Utsmani memberikan jalan bagi pengusaha muslim mengembangkan jaringan bisnisnya di London. Salah satunya mengenalkan kopi ke publik Inggris.

Selama masa penjajahan Inggris atas negeri berpenduduk muslim, seperti India termasuk Pakistan dan Bangladesh, Tunisia, Yaman dan Malaysia, banyak pelaut-pelaut muslim yang bekerja pada perusahaan pelayaran Inggris dan beberapa dari mereka akhirnya menetap di kota pelabuhan seperti London, Cardiff, dan Liverpool.

Selain ini, terdapat pula komunitas muslim kulit putih, salah seorang figur utamanya Abdullah Quilliam. Bernama asli William Henry Quilliam, ia lahir di Liverpool tahun 1856 dan meninggal 1932.
Quilliam tertarik dan akhirnya memeluk Islam dalam kunjungannya ke Aljajair, Tunisia, dan Maroko.

Sekembalinya ke Inggris, ia aktif menyebarkan Islam dan mendirikan masjid di Liverpool. Peran dan kontribusi Abdullah Quilliam sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi berdirinya masyarakat muslim di Inggris.

Amika Wardana menyatakan, perkembangan pesat komunitas muslim di Inggris dan di negara-negara Eropa Barat terjadi pada 1970-an. Kedatangan para pekerja migran dari Asia Selatan dan diikuti dengan reuni keluarga, kedatangan istri dan anak mengawali proses itu.

Satu ciri khas dari komunitas Muslim Asia Selatan, khususnya Pakistan ini, yaitu mereka tinggal berkelompok dalam sistem keluarga besar dan sangat kuat ikatan keluarga, klan, dan etnisnya.

Muslim mulai mendirikan masjid dengan cara mengubah gudang-gudang tak terpakai atau gereja yang dijual karena tidak mempunyai jamaah lagi dan juga mulai menjalankan berbagai lembaga pendidikan agama informal.

Survei yang dilakukan lembaga kajian agama University of Derby 1996 mencatat terdapat 960 lebih organisasi muslim ada di Inggris Raya.

Komunitas muslim berasal dari Asia Selatan seperti Arab atau Timur Tengah, Iran, Irak, Turki, serta Siprus serta komunitas muslim dari Eropa Timur seperti Bosnia-Herzegovina, Albania, dan Kosovo.

Komunitas muslim dari berbagai negara hadir di Inggris dengan sejarah migrasi yang berbeda, akibatnya interaksi dan kerjasama antar komunitas itu masih sangat lemah.

Seperti juga di berbagai negara, komunitas muslim di Inggris bukanlah komunitas tunggal, melainkan komunitas kecil-kecil yang meskipun beragama sama namun terpisah-pisah dalam sekat ras, etnis, bahasa, etnis, asal negara, dan juga afiliasi madzhabnya.

Tradisi perjodohan antarkeluarga masih dominan hingga sekarang.

Diskriminasi dan Islamophobia

Pada dasarnya, masyarakat Eropa khususnya Inggris, merupakan masyarakat homogen yang komposisinya relatif seragam.

Kehadiran pendatang yang memiliki perbedaan sangat mencolok seperti warna kulit, bahasa, dan juga budaya, merupakan fenomena sosial baru.

Hubungan kurang baik antara Barat dan Islam serta sejarah kolonialisme yang panjang masih menyisakan sisa-sisanya.

Pandangan dan sikap umum masyarakat Inggris sendiri terhadap kelompok minoritas di dalam negerinya mengalami perubahan sejak 1950-an. Sikap diskriminatif ini berubah dari `perbedaan warna kulit, ras, etnis, dan agama di era sekarang.

Situasi ini diperparah dengan internasionalisasi isu yang berkaitan dengan Islam dalam beberapa dekade terakhir, bangkitnya radikalisme Islam dan berbagai serangan teroris atas nama atau diakui dilakukan muslim.

Isu Islamophobia, atau ketakutan terhadap semua hal yang berkaitan dengan Islam, menjadi diskusi utama publik Inggris.

Salah satu peristiwa yang sangat penting dalam isu diskriminasi ini adalah publikasi novel Salman Rushdie berjudul “Satanic Verses” (Ayat-ayat Setan) tahun 1989.

Pada 1996, terbentuklah Muslim Council of Britain atau Asosiasi Muslim di Inggris (MCB) yang berperan sebagai organisasi payung yang membawahi seluruh organisasi muslim di Inggris, khususnya untuk menegosiasikan kebijakan publik dengan pemerintah.

Sedangkan bagi masyarakat dan pemerintah Inggris, mereka mulai menyadari keberadaan komunitas muslim yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda.

Dari sisi positifnya, muslim kemudian mendapatkan berbagai kemudahan seperti penyediaan makanan halal, libur khusus hari besar keagamaan, dan sebagainya.

Sementara sisi negatifnya, muncul sikap penolakan dari beberapa kelompok di Inggris yang merasa terancam dengan perkembangan kemunitas mslim, yang dianggap merusak tatanan kehidupan yang sudah mapan.

Akhirnya, kehidupan muslim di negeri Pangeran Charles itu memberikan gambaran perjuangan untuk mempertahankan identitas Islam di seluruh belahan bumi.

Meskipun menghadapi berbagai rintangan, umat muslim di Inggris berhasil bertahan dan mampu mewarnai kehidupan sosial-budaya di Eropa khususnya Inggris. Peradaban Islam berkembang di negeri itu. ant/republika.co.id

Bab Shalat Jama’ah


33 Pembahasan Lengkap “Bab Shalat Berjama’ah”

Oleh : Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

1. Hukum Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain atas setiap individu kecuali yang mempunyai udzur.

Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya hendak menyuruh untuk dicarikan kayu bakar, saya akan menyuruh (para sahabat) mengerjakan shalat, lalu ada yang mengumandangkan adzan untuk shalat (berjama’ah), kemudian saya menyuruh sahabat (lain) agar mengimami mereka, kemudian aku akan berkeliling memeriksa orang-orang (yang tidak shalat berjama’ah), kemudian akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata seorang diantara mereka mengetahui bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua paha unta yang baik, niscaya ia akan hadir dalam shalat isya’ (berjama’ah).”

(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 125 no: 644 dan lafadz ini lafadz, Muslim 1: 451 no: 651 sema’na, ‘Aunul Ma’bud II: 251 no: 544, Ibnu Majah I: 259 no: 79l Ibnu Majah tidak ada kalimat terakhir, dan Nasa’i II: 107 persis dengan lafadz Imam Bukhari).

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, telah datang kepada Nabi saw. seorang sahabat buta seraya berkata, “ Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai penuntun yang akan menuntunku ke masjid.” Kemudian ia memohon kepada Rasulullah agar beliau memberi rukhsah (keringanan) kepadanya, sehingga ia boleh shalat (wajib) di rumahnya. Maka beliau pun kemudian memberi rukhsah kepadanya. Tatkala ia berpaling (hendak pulang), beliau memanggilnya, lalu bertanya, “Kamu mendengar suara adzan untuk shalat?” Jawabnya,”Iya, betul.” Sabda beliau (lagi), “ (Kalau begitu) wajib kamu memenuhi seruan adzan itu!“

(Shahih: Mukhtashar Muslim no: 320, Muslim I: 452 no: 653, dan Nasa’i II: 109).

Dari Abdullah (Ibnu Mas’ud) r.a, ia berkata, “Barang siapa senang bertemu Allah di hari kiamat kelak dalam keadaan muslim, maka hendaklah dia memperhatikan shalat lima waktu ketika dia diseru mengerjakannya, karena sesungguhnya Allah telah mensyairi’atkan kepada Nabimu sunanul huda (sunnah sunnah yang berdasar petunjuk), dan sesungguhnya shalat lima waktu (dengan berjama’ah) termasuk sunnanul huda. Andaikata kamu sekalian shalat di rumah kalian (masing-masing), sebagaimana orang yang menyimpang ini shalat (wajib) dirumahnya, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, manakala kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, berarti kamu telah sesat. Tak seorang pun bersuci dengan sempurna, kemudian berangkat ke salah satu masjid dan sekian banyak masjid-masjid ini, melainkan pasti Allah menulis baginya untuk setiap langkah yang ia lakukan satu kebaikan dan dengannya Dia mengangkatnya satu derajat dan dengannya (pula) Dia menghapus satu kesalahannya. Saya telah melihat kamu (dahulu), dan tidak ada yang seorangpun yang meninggalkan shalat berjama’ah dan kalangan sahabat, kecuali orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya, dan sungguh telah ada seorang laki-laki dibawa ke masjid dengan dipapah oleh dua orang laki-laki hingga didirikannya di shaf.”

(Shahih: Shahih Jinu Majah no: 631, Muslim I : 453 no: 257 dan 654, Nasa’i II: 108, unul Ma’bud II: 254 no: 546 dan Ibnu Majah I: 255 no: 777).

Dari Ibnu Abbas dan Nabi saw., beliau bersabda, “Barang siapa mendengar panggilan (adzan), lalu tidak memenuhinya, maka sama sekali tiada shalat baginya, kecuali orang-orang yang berudzur.”

(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 645, Ibnu Majah I: 260 no: 793, Mustadrak Hakim I: 245 dan Baihaqi III: 174)

2. Keutamaan Shalat Berjama’ah

Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.”

(Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 no: 645, Muslim I: 450 no: 650, Tirmidzi I: 138 no: 215, Nasa’i II no: 103 dan Ibnu Majah I: 259 no: 789).

Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Shalatnya seseorang dalam jama’ah melebihi shalatnya di rumahnya dan di pasarnya dua puluh lima lebih, yang demikian itu terjadi yaitu apabila ia berwudhu’ dengan sempurna lalu pergi ke masjid hanya untuk shalat (jama’ah). Maka ia tidak melangkah satu langkahpun, kecuali karenanya diangkat satu derajat untuknya dan karenanya dihapus satu kesalahan darinya. Manakala para malaikat senantiasa mencurahkan rahmat kepadanya (dengan berdo’a kepada Allah), ALLAHUMMA SHALlI ‘ALAIH, ALLAHUMMARHAMHU (ya Allah limpahkanlah barakah kepadanya, dan curahkanlah barakah kepadanya).” Dan senantiasa seorang di antara kamu dianggap berada dalam shalat selama menunggu (pelaksanaan) shalat berjama’ah.”

(Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 131 no: 647, Muslim I :459 no: 649 dan ‘Aunul Ma’bud 11:265 no: 555).

Dari Abu Hurairah r.a dan Nabi saw. bersabda, “Barang siapa berangkat sore dan pagi ke masjid (untuk shalat jama’ah), niscaya Allah menyediakan baginya tempat tinggal di surga setiap kali ia berangkat sore dan pagi (ke masjid).”

Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 148 no: 662 dan Muslim I : 463 no: 669)

3. Bolehkah Kaum Wanita Pergi Shalat Berjamah Di Masjid?

Kaum wanita boleh pergi ke masjid untuk mengikuti shalat jama’ah dengan syarat mereka harus menjauhkan diri dan hal-hal yang dapat menimbulkan gejolak syahwat dan yang kiranya mengumandang fitnah, yaitu berupa perhiasan dan wangi-wangian (Fiqhus Sunnah I: 193).

Dari Ibnu Umar r.a. dan Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu sekalian mencegah istri-istrimu (pergi ke) masjid-masjdi namun (ingat) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”

(Shahih : Shahih Abu Daud no: 530, ‘Aiunul Ma’bud II: 274 no: 563 dan al Fathur Rabbani V : 195 no: 1333).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap wanita yang memakai wangi-wangian, maka jangan hadir shalat Isya’ bersama kami.”

(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2702, Muslim I: 328 no: 444, ‘Aunul Ma’bud XI: 231 no: 4157, dan Nasa’I VIII: 154).

Darinya (Abu Hurairah) r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Janganlah kami menghalangi hamba-hamba Allah yang perempuan untuk (pergi ke) masjid-masjid Allah, namun (ingat) hendaklah mereka berangkat (ke masjid) tanpa memakai parfum.”

(Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 529, ‘Aunul Ma’bud 11:273 no: 561, al-Fathur Rabbani V: 193 no: 1328).

4. Rumah-Rumah Mereka Lebih Baik Bagi Mereka

Kaum perempuan, sekalipun boleh pergi ke masjid, namun shalat wajib di rumahnya adalah lebih utama.

Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyah bahwa ia perah datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah, sejatinya saya ingin shalat bersamamu.“ Jawab beliau, “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau ingin sekali shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu, shalatmu di dalam kamarmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kampungmu, shalatmu di kampungmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada shalatmu dimasjidku ini.”

(Hasan: al-Fathur Rabbani V: 198 no: 1337 dan Shahih Ibnu Khuzai’mah III: 95 no: 1689).

5. Adab Berangkat Ke Masjid

Dari Abu Qatadah r.a. ia berkata, “Ketika kami sedang shalat bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang (yang berangkat ke masjid). Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada kalian?” Jawab mereka, “Kami terburu-buru ingin ikut shalat jama’ah.” Sabda beliau, “Janganlah kamu berbuat (begitu lagi). Apabila kalian hendak datang (ke masjid untuk) shalat jamaah, maka kamu harus (berangkat) dengan tenang. Apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, naka sempurnakanlah!”

(Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 116 no: 635, dan Muslim 1: 421 no: 603).

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu mendengar iqamah, maka berjalanlah (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, dengan tenang dan penuh kewibawaan serta janganlah tergesa-gesa, apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, maka sempurnakanlah.” (Muttafaqun ‘Alaih : Fathul Bari II : 117 no: 636, dan lafadz ini baginya, Muslim I: 420 no: 602, ‘Aunul Ma’bud II: 278 no: 568, Tarmidzi I: 205 no: 326, an-Nasa’I II: 114 dan Ibnu Majah I: 255 no: 775).

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian berangkat menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mencengkeram jari-jarinya, karena sesungguhnya ia dianggap berada dalam shalat.”

(Shahih: Shahih Tirmidzi no: 316, Sunan Tirmidzi I: 239 no: 384 dan ‘Aunul Ma’bud II: 268 no: 558).

6. Do’a Keluar Dari Rumah

Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa-yakni orang yang keluar dan rumahnya mengucapkan, “BISMILLAH, TAWAKKALTU ALALLAH, WA LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (Dengan (menyebut) nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah tiada daya upaya kecuali dengan (idzin) Allah),” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi petunjuk dan telah dicukupi serta dilindungi.” Dan syaitan menjauh darinya.”

(Shahih: Shahihul Jami’ no: 6419, ‘Aunul Ma’bud XIII: 437 no: 5073, dan Tirmidzi V: 154 no: 3486)

Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia pernah tidur di rumah Rasulullah saw. Kemudian dia menerangkan sifat shalat malam beliau, lalu berkata, “Muadzin mengumandangkan adzan, lalu beliau keluar ke (masjid untuk) shalat berjama’ah sambil berdo’a, “ALLAHUMMAJ ‘AL FII QALBII NUURAA, WA FII LISANII NUURAA, WAJ’AL FII SAM’II NUURAA, WAJ’AL FII BASHARII NUURAA, WAJ’AL MIN KHALFII NUURA, WAMIN AMAMII NUURAA, WAJ’AL MIN FAUQII NUURAA, WA MIN TAHTII NUURAA, ALLAHUMMA A’THINII NUURA (= Ya Allah, jadikanlah hatiku bercahaya dan lisanku bercahaya, dan jadikan pendengaranku bercahaya, jadikanlah penglihatanku bercahaya, jadikanlah belakangku bercahaya, depanku bercahaya dan bawahku bercahaya. Ya Allah, berilah pada diriku cahaya).”

(Shahih: Mukhtasar Muslim no : 379, Muslim I: 530 no: 191 dan 763 dan t’inul Ma’bud IV: 230 no: 1340).

7. Do’a Ketika Akan Masuk Masjid

Dari Abdullah bin Amr al-’Ash r.a. dan Nabi saw., bahwa apabila beliau akan masuk masjid beliau mengucapkan, “AA’UUDZU BILLAHIL ‘AZHIM WA BIWAJHIHILL KARIIM WA SULTHANIHIL QADIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIM (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Kepada Wajah-Nya Yang Mulia, dan kepada kekuasaan-Nya yang azali dari godaan yaitan yang terkutuk).” (Shahih: Shahih Abu Daud no : 441 dan ‘Aunul Ma’bud II: 132 no: 462).

Dari Fathimah binti Rasulullah saw., ia berkata: Adalah Rasulullah saw. apabila hendak masuk masjid, beliau mengucapkan “BISMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASULILLAH, ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBII WAFTAHLII ABWAABA RAHMATIK (Dengan menyebut nama Allah, dan kesejahteraan mudah-mudahan tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukalah untukku pintu-pintu rahma-Mu). “Dan apabila beliau hendak keluar (dan masjid), beliau mengucapkan, “BlSMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASUULILLAAH, ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBI WAFTAHLII ABWAABA FADHLIK (Dengan (menyebut) nama Allah, dan kesejahteraan mudah-mudahan dilimpahkan kepada Rasulullah Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu-pintu karunia-Mu). (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 625, Ibnu Majah I: 253 no: 771 dan Tirmidzi l:197 no: 313).

8. Shalat Tahiyatul Masjid

Apabila seorang masuk masjid, ia wajib shalat tahiyatul masjid dua raka’at sebelum duduk.

Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu masuk masjid maka janganlah (langsung) duduk sebelum shalat (tahiyatul masjid) dua raka’at.”

(Murtafaqun ‘Alaih: Fathul Bari III: 48 no: 1163, Muslim I: 495 no: 714, ‘Aunul Ma’bud II: 133 no: 463, Tirmidzi I: 198 no: 315 dan Ibnu Majah I: 24 no:1013 dan Nasa’i II: 53).

Kami penulis mengatakan wajib shalat tahiyatul masjid berdasarkan dzahir perintah hadits di atas yang tidak ada qarinah-qarinah (indikasi indikasi) yang memalingkannya dan dzahirnya sebagai sebuah kewajiban, kecuali hadits Thalhah bin Ubaidullah:

Dari Thalhah bin ’Ubaidullah r.a. bahwa ada seorang arab badwi datang kepada Rasulullah saw. dengan rambut kusut seraya berkata, ”Ya Rasulullah (tolong) informasikan kepadaku, shalat apa saja yang Allah fardhukan kepadaku?”Jawab beliau, “Shalat lima waktu, kecuali jika kamu mengerjakan shalat tathatwwu’.” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari I: 106 no: 46, Muslim I: 40 no: 11, ‘Aunul Ma’bud II: 53 no: 387 dan Nasa’i IV: 121).

Di dalam Nailul Authar I : 364, Imam Asy-Syaukani menulis sebagai berikut, “Upaya menjadikan hadits Thalhah ini sebagai dalil yang menunjukkan tidak wajibnya shalat tahiyatul masjid harus dikaji ulang, menurut hemat saya (asy-Syaukani), sebab apa saja yang terdapat pada Mabadi Ta’lim (dasar-dasar ajaran Islam) tidak boleh dilibatkan dalam memalingkan dalil yang datang sesudahnya. Jika tidak, maka kewajiban-kewajiban syari’at seluruhnya hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Ini jelas-jelas berbenturan dengan ijma’ ulama’ dan mementahkan mayoritas kandungan svari’at Islam. Yang haq, bahwa dalil yang shahih yang datang belakangan yang harus sesuai dengan ketentuannya, baik yang wajib, sunnah, ataupun lainnya. Dan, memang dalam masalah ini terdapat khilaf, namun pendapat orang mewajibkanlah yang paling kuat diantara dua pendapat.” Selesai.

Pendapat yang mengokohkan mewajibkan shalat tahiyatul masjid ini diperkuat oleh perintah Nabi walaupun beliau sedang berkhutbah:

Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, “Telah datang seorang sahabat di saat. Nabi saw. berkhutbah di hadapan jama’ah shalat Jum’at, lalu beliau bertanya (kepadanya), “Hai fulan, sudahkah engkau shalat (tahiyatul masjid)?” Jawabnya, “Belum.” Sabda beliau lagi, “(Kalau begitu bangunlah lalu ruku’lah (shalatlah).” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 407 no: 930, Muslim II: 596 no: 875, ‘Aunul Ma’bud IV: 464 no: 1102, Tirmidzi II: 10 no: 508, Ibnu Majah I: 353 no: 1112 dan Nasa’i III: 107).

9. Bila Iqamah Telah Dikumandangkan, Tiada Shalat Lagi, Kecuali Shalat Wajib

Dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda, “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka sama sekali tiada shalat, kecuali shalat wajib.” (Shahih: Mukhtsar Muslim no: 263, Muslim I: 493 no: 710, ‘Aunul Ma’bud IV: 142-143 no: 1252, Tirmidzi 1:264 no: 419, Ibnu Majah 1:364 no: 1151 dan Nasa’i II no: 116).

Dari Malik bin Buhainah bahwa Rasulullah pernah melihat seorang sahabat sedang mengerjakan shalat dua raka’at diwaktu iqamah dikumandangkan. Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau dikerumuni oleh para sahabat. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah shalat subuh empat rakaat?! Apakah shalat shubuh empat raka’at?!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 148 no: 663 dan lafadz mi baginya, dan Muslim I: 493 no: 711)

10. Fadhilah Mendapatkan Takbiratul Ihram Bersama Imam

Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah mendapatkan takbiratul ihram, niscaya ditetapkan baginya dua kebebasan: bebas dan siksa neraka dan (kedua) bebas dan sifat nifak.” (Hasan: Shahih Triniidzi no: 200 dan Tirmidzi I: 152 no: 241).

11. Orang Yang Datang Ke Masjid Di Saat Imam Sudah Selesai Shalat

Dari Sa’id bin al-Musayyab r.a. bahwa ada seorang sahabat dan Anshar berada dalam detik-detik kematian, berkata: Sesungguhnya aku akan menceritakan hadits kepada kamu sekalian yang tidak akan kusampaikan kepadamu, kecuali mendapatkan ridha Allah. Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

“Apabila seorang diantara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian pergi ke (masjid untuk) shalat jama’ah, ia tidak mengangkat kaki kanannya, melainkan Allah Azza Wa Jalla pasti menulis baginya satu kebaikan, dan tidak meletakkan kaki kirinya melainkan pasti Allah Azza Wa Jalla menghapus satu kesalahan darinya. Maka hendaklah seorang diantara kamu memilih (tempat) yang jauh atar dekat (ke masjid). Jika ia datang ke masjid, lalu shalat berjama’ah, niscaya diampuni dosa-dosanya. Jika ia datang ke masjid sedangkan mereka sudah mengerjakan sebagian (dari shalat wajib) dan tinggal sebagian yang lain, maka hendaklah ia shalat mengikuti mereka, lalu sempurnakan sisanya maka demikian itu pahalanya sama dengan mereka. Dan jika dia datang ke masjid, sementara mereka sudah selesai mengerjakan shalat, lalu dia menyempurnakan shalat (yang ketinggalan), maka yang demikian itu sama pahalanya den mereka.”

(Shahih: Shahih Abu Daud no: 527 dan ‘Aunul Ma’bud II: 270 n 559).

Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa berwudhu’

dengan sempurna, kemudian berangkat (ke masjid), lalu ia mendapati jama’ah sudah selesai shalat, niscaya Allah Azza Wa Jalla memberinya sebesar pahala orang yang mengerjakannya dan mengikutinya, Hal itu tidak mengurangi sedikitpun pahala mereka.”

(Shahih: Shahih Abu Daud no: 528, ‘Aunul Ma’bud II: 272 no: 560 dan Nasa’i II: 111).

12. Orang Yang Masbuq Harus Mengikuti Imam Dalam Keadaan Apapun Ia

Dari Ali bin Abi Thalib dan Mu’adBab Shalat Jama’ahz bin Jabal r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu datang (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan imam berada dalam satu gerakan, maka lakukanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh imam itu !“ (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 484, Shahihul Jami’us Shaghir no: 261 dan Tirmidzi II no: 51 no: 588).

13. Kapan Dianggap Mendapatkan Satu Raka’at

Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu raka’at, barang siapa yang yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat mendapatkan 1 raka’at tersebut).”

(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 468 n’Aunu1 Ma’bud III: 145 no: 875).

14. Orang Yang Ruku’ Di Belakang Shaf

Dari Abu Bakrah r.a. bahwa ia pernah mendapati Nabi saw. sedang ruku’, lalu iapun ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian kejadian tersebut sampai kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Mudah-mudahan Allah menambah antusiasmu, maka jangan kau ulangi lagi (ruku’ di belakang shaf itu).”

(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3565, Fathul Bari II: 267 no: 783, Aunul Ma’bud II: 378 no: (-79-680, dan Nasa’i II: 118).

Dari Atha’ bahwa ia mendengar Ibnu Zubair menegaskan di atas mimbar, “Apabila seorang kamu masuk masjid, sementara jama’ah sedang ruku’ maka ruku’lah sampai kamu masuk (ke dalam masjid), kemudian kamu berjalanlah sambil ruku’ hingga masuk ke shaf, karena yang demikian itu sunnah Nabi. “(Shahihul Isnad : ash-Shahihah no: 229).

Dari Zaid bin Wahb, ia bercerita, “Saya pernah keluar bersama Abdullah bin Mas’ud dari rumahnya menuju masjid. Tatkala kami sampai dipertengahan masjid, imam ruku’ maka Ibnu Mas’ud bertakbir dan ruku’ aku ikut jugs bersamanya, kemudian kami berjalan (terus) dan kami sampai-sampai ke shaf ketika jama’ah mengangkat kepalanya (dan ruku’). Tatkala imam selesai dari shalatnya, aku berdiri (lagi) karena saya berpendapat bahwa saya tidak mendapatkan (raka’at pertama) , maka kemudian Abdullah bin Mas’ud menarik tanganku dan mendudukkanku. Kemudian dia menyatakan, “Sesungguhnya engkau benar-benar telah mendapat (‘shalat dan raka’at pertama).” (Shahih: ash. Shahihah II: 52 dan Baihaqi II: 90).

15. Imam Diperintah Memperpendek Bacaan

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat untuk para makmum, maka perpendeklah karena diantara makmum itu ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada (pula) yang tua renta. Namun apabila ia shalat untuk dirinya sendirian, maka perpanjanglah semuanya!’

(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 199 no: 703 dan lafadz ini baginya, Muslim I: 341 no: 467, Aunul Ma’bud III: 11 no: 780, Tirmidzi I: 150 no: 236 dan Nasa’i II: 94).

16. Imam Lebih Memanjangkan Rakaat Pertama

Dari Abu Sa’id r.a., berkata, “Sungguh shalat dzuhur sedang dimulai, lalu ada diantara jama’ah yang (keluar) pergi ke Baqi’ untuk buang hajat. (Setelah selesai) kemudian ia berwudhu’ lalu berangkat (ke masjid lagi) sedangkan Rasulullah masih berada pada raka’at pertama, karena beliau sangat memanjangkan raka’at pertama.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 930, Muslim I: 35 no: 454 dan Nasa’i II: 164)

17. Wajib Mengikuti Imam dan Larangan Mendahuluinya

Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti. Karena itu, apabila ia sudah takbir, maka hendaklah kamu takbir, apabila sujud maka sujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat (kepala), maka angkatlah (kepalamu)…”

(Muttafaqun ‘alaih : Muslim 1: 3( no: 411, Fathul Bari II: 173 no: 689, ‘Annul Ma’bud II: 310 no: 587, Tirmidzi I: 225 no: 358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1: 92 no: 12.38).

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Tidaklah seorang diantara kamu merasa khawatir, bila (mengangkat kepalanya), Allah akan menjadikan kepalanya sebagai kepala keledai, atau Allah akan menjadikan raut wajahnya seperti wajah keledai?!“

(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 182 no: 691, Muslim I: 320 no: 427, ‘Aunul Ma’bud II: 330 no: 609, Tirmidzi U: 48 no: 579, Nasa’i II: 96 dan Ibnu Majah I: 308 no: 961).

18. Orang Yang Berhak Menjadi Imam

Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi imam di suatu kaum ialah yang lebih mengerti isi kitab Allah, kalau mereka dalam hal mengerti kitabullah sama, maka yang lebih mengerti tentang sunnah Nabi di antara mereka, jika dalam hal pemahaman sunnah Nabi sama, maka yang dahulu hijrah di antara mereka, apabila dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih dulu masuk Islam di antara mereka, dan janganlah menjadi imam bagi orang lain di daerah kekuasaan orang itu dan janganlah duduk di rumahnya di tempatnya yang khusus, kecuali dengan idzinnya.”

(Shahih Mukhtasar Muslim no: 316, Muslim I: 465 no: 673, Tirmidzi I: 149 no: 235, ‘Aunul Ma’bud II: 289 no: 578, Nasa’i II: 76, Ibnu Majah I: 313 no: 980.\

Dalam riwayat mereka ada tambahan begini, “Jika dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih tua diantara mereka yang menjadi imam.” Riwayat ini salah satu dari riwayat Imam Muslim.

Dalam hadits ini terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa tuan rumah dan imam rawatib (imam tetap) serta semisalnya lebih berhak menjadi imam shalat daripada selain mereka, kecuali mendapat izin dan mereka ini didasarkan pada sabda Nabi saw, “Dan janganlah seorang menjadi imam bagi orang di tempat kekuasaan orang itu.”

19. Anak Kecil Menjadi Imam

Dari Amr bin Salamah r.a., ia berkata: Tatkala terjadi Fathul Mekkah, setiap kaum berlomba-lomba menyatakan keislamannya dan ayahku telah mendahului keislaman kaumku. Tatkala ia datang (kepada mereka , ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar datang kepada kamu sekalian dan sisi Nabi, maka beliau berkata: Shalatlah begini pada waktu begini, dan shalatlah begini pada waktu begini.

Apabila (waktu) shalat tiba, hendaklah seorang diantara kamu mengumandangkan adzan dan hendaklah yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi iman kamu. “Kemudian para sahabat melihat-lihat, ternyata tidak ada hafalan Qur’annya lebih banyak dan saya, karena sebelumnya saya pernah belajar al-Qur’an kepada sejumlah musafir, kemudian mereka menunjuk saya sebagai imam mereka, padahal saya masih berusia enam atau tujuh tahun.”

(Shahih: Shahih Nasa’i no: 761, Fathul Bari VIII: 22 no: 4302, ‘Aunul Ma’bud 293 no: 581, Nasa’i II: 80).

20. Orang Yang Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Yang Shalat Sunnah Atau Sebaliknya

Dari jabir bahwa Mu’adz bin Jabal shalat bersama Nabi, kemudian kembali (pulang), lalu menjadi imam bagi kaumnya.” (Shahih: Mukhtasar Halaman 278 Bukhari no:387, Fathul Bari II: 192 no:700, Muslim I:339 no:465, ‘Aunul Ma’bud III:776, Nasa’i II:102).

Dari Yazid bin al-Aswad bahwa ia pada waktu menginjak usia remaja pernah shalat bersama Nabi saw.. Tatkala beliau selesai shalat, ternyata ada dua sahabat yang tidak ikut shalat jama’ah di pojok masjid, lalu dipanggil oleh beliau, kemudian dibawalah mereka berdua kepada beliau dengan menggigil ketakutan beliau bertanya “Gerangan apakah yang menghalangi kalian untuk shalat jama’ah dengan kami?” Jawab mereka berdua,” Sungguh kami telah shalat jama’ah di perjalanan kami.” Sabda beliau (lagi), “Jangan begitu, manakala seorang diantara kamu sudah shalat jama’ah di perjalanannya, kemudian ia mendapatkan imam (sedang shalat), sedangkan ia tidak termasuk yang shalat, maka shalatlah bersamanya, karena sejatinya shalat kedua itu sunnah baginya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 538, ‘Aunul Ma’bud II: 283 no: 571, Tarmidzi I: 140 no: 2 dan Nasa’i II 112)

21. Orang Muqim Bermakmum Kepada Musafir Atau Sebaliknya

Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Umar shalat dzuhur dengan masyarakat Mekkah, dan beliau mengucapkan salam pada raka’at kedua, kemudian berkata, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena sesungguhnya kami adalah orang-orang musafir!” (Shahih: Jami’ul Ushul V: 708 yang ditahqiq oleh Al-Anaa uth dan Mushnaf Abdur Razzaq no: 4369).

22. Apabila Musafir Bermakmum Kepada Orang Yang Muqim Harus Menyempurnakan

Dari Musa bin Salamah al Hudzali r.a. berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., bagaimana cara shalat sendirian bila berada di Makkah jawab Ibnu Abbas, “(Shalatlah) dua raka’at, ini adalah sunnah Abul Qasim

(Shahih : Irwa ul Ghalil no: 571 dan Muslim I : 479 no: 688 serta Nasa’I : 119)

Dari Abu Mujalazi, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar, seorang musafir mendapatkan dua raka’at dari shalat kaum setempat, yaitu orang-orang yang muqim apakah cukup baginya dua raka’at itu, ataukah ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka?” Ibnu Umar tertawa, lalu berujar,” Ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka.”

(Shahih Isnad : Irwa-ul Ghalil no : 22 dan Baihaqi III : 157).

23. Orang Yang Mampu Berdiri Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Dengan Duduk Dan Ia Pun Duduk Bersamanya

Dari Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah saw. shalat dirumahnya karena sakit yaitu beliau shalat duduk, sementara sejumlah sahabat shalat di belakangnya dengan berdiri. kemudian beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk (juga). Tatkala selesai shalat, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam itu hanya untuk diikuti. Karena itu, apabila imam ruku’ maka ruku’lah, apabila dia mengangkat (kepalanya) maka angkatlah (kepalamu), dan apabila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu dengan duduk (juga)!”

(Muttafaqun ‘Alaih Fathul Bari II: 173 no: 688, Muslim I: 309 no: 412 dan ‘Aunul Ma’bud I 315 no: 591).Yaitu di rumah Aisyah, bukan di rumah istri yang lain. Lihat Fathul Bari II:175 (pent.)

Dari Anas r.a., ia bercerita: (Pada suatu saat) Nabi terjatuh dari atas kudanya hingga lambung kanannya bengkak. Maka kami membesuknya, lalu tiba waktu shalat, kemudian Rasulullah shalat dengan kami dalam keadaan duduk, lantas kami shalat di belakangnya dengan duduk (pula). Tatkala usai shalat, beliau bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam hanyalah untuk diikuti. Karena itu, manakala ia telah takbir, maka bertakbirlah kamu, apabila ia telah sujud maka sujudlah kamu dan apabila ia telah mengangkat (kepalanya) maka angkatlah (kepalamu juga), apabila ia mengucapkan, SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah, RABBANAA WALAKAL HAMDU, dan apabila ia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu semua dengan duduk (juga).”

(Muttafaqun ‘alaih: Muslim 1:308 no:4 11, Fathul Bari 11:173 no:689, ‘Aunul Ma’bud II: 310 no: 587, Tirmidzi I: 125 no:358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1:392 no: 1238).

24. Makmum Sendirian Harus Berdiri Persis Di Sejajarkan Imam (Sejajar Dengannya).

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah lalu Rasulullah saw. shalat isya’, kemudian shalat empat rakaat, lalu kemudian bangun (shalat lagi), lalu ia datang berdiri di sebelah kirinya, maka beliau menempatkanku di sebelah kanannya.”

(Shahih: Irwa-ul Ghalil 540, Shahih Ibnu Majah no: 792, Tarmidzi I: 147 no: 232, Nasa’i II: 104 Ibnu Majah I: 312 no: 973).

25. Makmum Dua Orang Atau Lebih Berdiri Dengan Membuat Shaf Di Belakang Imam.

Dari Jabir berkata, “Rasulullah saw. berdiri hendak shalat, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, lalu Rasulullah memegang tanganku kemudian memutarku hingga menempatkan di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr, lantas berdiri disebelah kiri Rasulullah, lalu beliau memegang tangan kami semua, lantas mendorong kami hingga kami berdiri di (shaf) belakangnya.” (Shahih : Ihwa-ul Ghalil no : 540, Muslim I: 458 no: 269-660, ‘Aunul Ma’bud II: 318 no: 595, dan Ibnu Majah I: 312 no: 975).

26. Jika Makmum Seorang Perempuan Harus Berdiri Di Belakang Imam

Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. shalat dengannya dan dengan ibunya atau bibinya ia berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakang kami.”

(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 192 no: 700, Muslim I: 339 no: 465, ‘Aunul Ma’bud III: 4 no: 776, dan Nasa’i II: 102)

27. Kewajiban Meluruskan Shaf

Wajib bagi sang imam untuk tidak memulai shalatnya sebelun mengontrol shaf, yaitu ia sendiri menyuruh jama’ah meluruskan shaf, atau menunjuk seseorang yang meluruskan shaf:

Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Luruskanlah shaf kalian karena sesungguhnya kelurusan shaf itu termasuk kesempurnaan shalat.”

(Muttafaqun ‘alaih : Muslim I : 324 no: 433 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari II: 209 no: 723, ‘Aunul Ma’bud (II: 367 no: 654, dan Ibnu Majah 1:317 no: 993)

Dari Abu Mas’ud r.a. berkata, adalah Rasulullah saw. meluruskan bahu-bahu kami ketika akan memulai shalat sambil bersabda, “Luruskanlah, jangan sampai tidak lurus, (kalau tidak lurus) niscaya hati-hati kalian akan berselisih pula.”

(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 961, Muslim I: 323 no: 432).

Dari an-Nu’man bin Basyir r.a., berkata, adalah Rasulullah saw. meluruskan shaf-shaf kami seolah-olah beliau meluruskan tangkai anak panah ini sampai kami melihat kami diikat padanya. Kemudian pada suatu hari, beliau berdiri hampir memulai takbir, lalu melihat dada seorang sahabat yang menonjol dari shaf, maka beliau bersabda,

“Wahai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf kalian, atau (kalau tidak), Allah benar-benar menjadikan wajah-wajah berbeda-beda.”

(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3972, I: 324 no: 128 dan 436, ‘Aunul Ma’bud II: 363 no: 649, Tirmidzi no: 227, Nasa’i II: 89 dan Ibnu Majah I: 318 no: 994)

Penggunaan kata qidah (tangkai anak panah), adalah menunjukkan akan lurus dan rapatnya shaf itu. Syarah Muslim.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tegakkanlah shaf-shaf, luruskan antara bahu-bahu, penuhilah yang kosong dan bersikap lemah lembutlah kepada saudaramu, janganlah kamu biarkan celah-celah untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf niscaya Allah menjalin hubungan dengannya barangsiapa memutus shaf, tentu Allah memutus hubungan dengannya.”

Shahih: Shahih Abu Daud no: 620 dan ‘Aunul Ma’bud II: 365 no : 652).

Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rapatkanlah dan dekatkan shaf-shaf kalian serta luruskanlah antara sesama leher, Demi Dzat yang diriku berada di genggaman-Nya, sesungguhnya aku benar-benar melihat syaithan masuk ke shaf melalui celah-celah shaf seperti anak kambing hitam.”

(Shahih: Shabi Abu Daud no: 621, ‘Aunul Ma’bud II: 366 no: 653, Nasa’i II: 92).

28. Cara Meluruskan Shaf

Dari Anas r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya saya melihat kamu dan belakang punggungmu.” Dan (kata Anas), “Adalah seorang diantara kami menempelkan bahunya dengan bahu saudaranya, dan kakinya dengan kaki saudaranya.”

(Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 393 dan Fathul Bari II: 211 no:725).

An-Nu’man bin Basyir menegaskan, “Aku melihat seorang laki-laki diantara kita menempelkan mata kaki dengan mata kaki rekannya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 124 hal. 184 dan Fathul Bari II: 211 secara mu’allaq).

29. Shaf Laki-Laki Dan Perempuan

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling akhir dan yang paling jelek adalah yang terdepan.”

(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3310, Muslim I: 326 no: 440, ‘Aunul Ma’bud II: 374 no: 663, Tirmidzi I: 143 no: 224, Nasa’i II: 93 dan Ibnu Majah I: 319 no: 1000).

30. Keutamaan Shaf Pertama Dan Shaf Sebelah Kanan

Dari Bara’ bin Azib ra ia berkata: Adalah Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat kepada jama’ah yang berada pada shaf pertama.”

(Shahih: Shahih Abu Daud no: 618, ‘Aunul Ma’bud 11364 no: 650, Nasa’i II: 90 dan dalam Sunan Nasa’i memakai kata, “ASH SIUFUFUL MUTAQADDIMAH (= shaf-shaf terdepan).”)

Darinya (yakni Bara’ bin Azib) r.a., ia berkata, “Apabila kami shalat bermakmum kepada Rasulullah saw., kami ingin berada di sebelah kanannya. Rasulullah menghadap kepada kami dengan raut wajahnya, lalu saya dengar darinya bersabda, “Ya Rabbku peliharalah aku dan adzab-Mu pada hari engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (Shahih: at-Targhib: 500, Muslim I: 492 dan 493no: 709)

31. Makmum Yang Lebih Pantas Berdiri Di Belakang Imam

Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah yang berada yang berada di belakangku di antara kamu ialah orang-orang yang sudah dewasa dan matang pikirannya, kemudian yang sesudah mereka, lalu sesudah mereka.”

(Shahih:Shahih Abu Daud no: 626, Muslim I: 323 no: 432, “Aunul Ma’bud II: 371 no: 660, Ibnu Majah I: 312 no: 976 dan Nasa’I II: 90)

32. Makruh Shaf Yang Dihalangi Tiang

Dari Muawiyah bin Qurrah dari bapaknya, ia berkata, “Pada masa Rasulullah kami dilarang (oleh beliau) membentuk shaf yang dihalangi tiang dan kami jauhkan darinya sejauh-jauhnya.”

(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:821, Ibnu Majah I:320 no:1002, Mustadrak Hakim I:218, dan Baihaqi III:104)

Larangan di atas berlaku pada shalat jama’ah, adapun shalat munfarid sendirian, maka tidak mengapa seseorang shalat di antara beberapa tiang sebagai sutrah baginya.

Dari Ibnu Umar r.a., berkata, Nabi saw., Usamah bin Zaid, ‘Utsman bin Thalhah, dan Bilal masuk ke suatu rumah. Kemudian Nabi saw. lama di dalamnya, lalu keluar. Saya adalah orang yang pertama masuk mengikuti jejaknya. Kemudian saya bertanya pada Bilal, “Di mana beliau shalat?” Jawabnya, “Beliau (shalat) di antara dua tiang terdepan.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari hal 139, Fathul Bari I:578 no:504).

33. Sejumlah ‘Udzur Yang Membolehkan Meninggalkan Shalat Jama’ah

a. Terlalu dingin dan hujan

Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar r.a pernah mengumandangkan adzan untuk shalat jama’ah pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berseru, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing-masing lalu beliau berkata bahwasanya Rasulullah pernah menyuruh muadzin apabila beradzan pada malam yang dingin dan hujan untuk mengungkapkan, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing masing !” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 156 no: 666, Muslim I: 4 no: 697, ‘Aunul Ma’bud III: 391 no: 1050 dan Nasa’i II: 15).

b. Tersiapnya hidangan makan

Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila hidangan makan malam seseorang diantara kamu sudah disiapkan dan iqamah sudah dikumandangkan, maka mulailah dengan makan malam, dan janganlah tergesa-gesa untuk (shalat isya’) sebelum selesai dan makannya.” Dan adalah Ibnu Umar apabila disiapkan hidangan makan untuknya dan iqamah sedang dikumandangkan, maka ia tidak mau menghadirinya sebelum selesai makan, dan ia benar-benar mendengar bacaan imam. (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 159 no: 673, Muslim I: 392 no: 459, tanpa kalimat terakhir dan ‘Aunul Ma’bud X: 229 no: 3739)

c. Selalu terdorong oleh rasa ingin berak dan kencing.

Dari Aisyah r.a, ia bertutur, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sama sekali tiada shalat bila hidangan makan sudah tersedia dan tiada (pula) bagi orang yang terdorong oleh berak dan kencing.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7509, Muslim I: 393 no: 560 dan ‘Aunul Ma’bud I: 160 no : 89).

Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.259-288.

Allah Mengujiku Dengan Empat Nyawa


Namanya Khairiyah. Ibu dari tiga anak ini Allah uji dengan cobaan yang luar biasa. Setelah suaminya meninggal, satu per satu, anak-anak tercinta yang masih balita pun pergi untuk selamanya.

Hidup ini memang ujian. Seperti apa pun warna hidup yang Allah berikan kepada seorang hamba, tak luput dari yang namanya ujian. Bersabarkah sang hamba, atau menjadi kufur dan durhaka.

Dari sudut pandang teori, semua orang yang beriman mengakui itu. Sangat memahami bahwa susah dan senang itu sebagai ujian. Tapi, bagaimana jika ujian itu berwujud dalam kehidupan nyata. Mampukah?

Hal itulah yang pernah dialami Bu Khairiyah. Semua diawali pada tahun 1992.

Waktu itu, Allah mempertemukan jodoh Khairiyah dengan seorang pemuda yang belum ia kenal. Perjodohan itu berlangsung melalui sang kakak yang prihatin dengan adiknya yang belum juga menikah. Padahal usianya sudah nyaris tiga puluh tahun.

Bagi Khairiyah, pernikahan merupakan pintu ibadah yang di dalamnya begitu banyak amal ibadah yang bisa ia raih. Karena itulah, ia tidak mau mengawali pintu itu dengan sesuatu yang tidak diridhai Allah.

Ia sengaja memilih pinangan melalui sang kakak karena dengan cara belum mengenal calon itu bisa lebih menjaga keikhlasan untuk memasuki jenjang pernikahan. Dan berlangsunglah pernikahan yang tidak dihadiri ibu dan ayah Khairiyah. Karena, keduanya memang sudah lama dipanggil Allah ketika Khairiyah masih sangat belia.

Hari-hari berumah tangga pun dilalui Khairiyah dengan penuh bahagia. Walau sang suami hanya seorang sopir di sebuah perusahaan pariwisata, ia merasa cukup dengan yang ada.

Keberkahan di rumah tangga Khairiyah pun mulai tampak. Tanpa ada jeda lagi, Khairiyah langsung hamil. Ia dan sang suami pun begitu bahagia. “Nggak lama lagi, kita punya momongan, Bang!” ujarnya kepada sang suami.

Mulailah hari-hari ngidam yang merepotkan pasangan baru ini. Tapi buat Khairiyah, semuanya berlalu begitu menyenangkan.

Dan, yang ditunggu pun datang. Bayi pertama Bu Khairiyah lahir. Ada kebahagiaan, tapi ada juga kekhawatiran.

Mungkin, inilah kekhawatiran pertama untuk pasangan ini. Dari sinilah, ujian berat itu mulai bergulir.

Dokter menyatakan bahwa bayi pertama Bu Khairiyah prematur. Sang bayi lahir di usia kandungan enam bulan. Ia bernama Dina.

Walau dokter mengizinkan Dina pulang bersama ibunya, tapi harus terus berobat jalan. Dan tentu saja, urusan biaya menjadi tak terelakkan untuk seorang suami Bu Khairiyah yang hanya sopir.

Setidaknya, dua kali sepekan Bu Khairiyah dan suami mondar-mandir ke dokter untuk periksa Dina. Kadang karena kesibukan suami, Bu Khairiyah mengantar Dina sendirian.

Beberapa bulan kemudian, Allah memberikan kabar gembira kepada Bu Khairiyah. Ia hamil untuk anak yang kedua.

Bagi Bu Khairiyah, harapan akan hiburan dari anak kedua mulai berbunga. Biarlah anak pertama yang menjadi ujian, anak kedua akan menjadi pelipur lara. Begitulah kira-kira angan-angan Bu Khairiyah dan suami.

Dengan izin Allah, anak kedua Bu Khairiyah lahir dengan selamat. Bayi itu pun mempunyai nama Nisa. Lahir di saat sang kakak baru berusia satu tahun. Dan lahir, saat sang kakak masih tetap tergolek layaknya pasien berpenyakit dalam. Tidak bisa bicara dan merespon. Bahkan, merangkak dan duduk pun belum mampu. Suatu ketidaklaziman untuk usia bayi satu tahun.

Beberapa minggu berlalu setelah letih dan repotnya Bu Khairiyah menghadapi kelahiran. Allah memberikan tambahan ujian kedua buat Bu Khairiyah dan suami. Anak keduanya, Nisa, mengalami penyakit aneh yang belum terdeteksi ilmu kedokteran. Sering panas dan kejang, kemudian normal seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu seterusnya.

Hingga di usia enam bulan pun, Nisa belum menunjukkan perkembangan normal layaknya seorang bayi. Ia mirip kakaknya yang tetap saja tergolek di pembaringan. Jadilah Bu Khairiyah dan suami kembali mondar-mandir ke dokter dengan dua anak sekaligus.

Di usia enam bulan Nisa, Allah memberikan kabar gembira untuk yang ketiga kalinya buat Bu Khairiyah dan suami. Ternyata, Bu Khairiyah hamil.

Belum lagi anak keduanya genap satu tahun, anak ketiga Bu Khairiyah lahir. Saat itu, harapan kedatangan sang pelipur lara kembali muncul. Dan anak ketiganya itu bayi laki-laki. Namanya, Fahri.

Mulailah hari-hari sangat merepotkan dilakoni Bu Khairiyah. Bayangkan, dua anaknya belum terlihat tanda-tanda kesembuhan, bayi ketiga pun ikut menyita perhatian sang ibu.

Tapi, kerepotan itu masih terus tertutupi oleh harapan Bu Khairiyah dengan hadirnya penghibur Fahri yang mulai berusia satu bulan.

Sayangnya, Allah berkehendak lain. Apa yang diangankan Bu Khairiyah sama sekali tidak cocok dengan apa yang Allah inginkan. Fahri, menghidap penyakit yang mirip kakak-kakaknya. Ia seperti menderita kelumpuhan.

Jadilah, tiga bayi yang tidak berdaya menutup seluruh celah waktu dan biaya Bu Khairiyah dan suami. Hampir semua barang berharga ia jual untuk berobat. Mulai dokter, tukang urut, herbal, dan lain-lain. Tetap saja, perubahan belum nampak di anak-anak Bu Khairiyah.

Justru, perubahan muncul pada suami tercinta. Karena sering kerja lembur dan kurang istirahat, suami Bu Khairiyah tiba-tiba sakit berat. Perutnya buncit, dan hampir seluruh kulitnya berwarna kuning.

Hanya sekitar sepuluh jam dalam perawatan rumah sakit, sang suami meninggal dunia. September tahun 2001 itu, menjadi titik baru perjalanan Bu Khairiyah dengan cobaan baru yang lebih kompleks dari sebelumnya. Dan, tinggallah sang ibu menghadapi rumitnya kehidupan bersama tiga balita yang sakit, tetap tergolek, dan belum memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan.

Tiga bulan setelah kematian suami, Allah menguji Bu Khairiyah dengan sesuatu yang pernah ia alami sebelumnya. Fahri, si bungsu, ikut pergi untuk selamanya.

Kadang Bu Khairiyah tercenung dengan apa yang ia lalui. Ada sesuatu yang hampir tak pernah luput dari hidupnya, air mata.

Selama sembilan tahun mengarungi rumah tangga, air mata seperti tak pernah berhenti menitik di kedua kelopak mata ibu yang lulusan ‘aliyah ini. Semakin banyak sanak kerabat berkunjung dengan maksud menyudahi tetesan air mata itu, kian banyak air matanya mengalir. Zikir dan istighfar terus terucap bersamaan tetesan air mata itu.

Bu Khairiyah berusaha untuk berdiri sendiri tanpa menanti belas kasihan tetangga dan sanak kerabat. Di sela-sela kesibukan mengurus dua anaknya yang masih tetap tergolek, ia berdagang makanan. Ada nasi uduk, pisang goreng, bakwan, dan lain-lain.

Pada bulan Juni 2002, Allah kembali memberikan cobaan yang mungkin menjadi klimaks dari cobaan-cobaan sebelumnya.

Pada tanggal 5 Juni 2002, Allah memanggil Nisa untuk meninggalkan dunia buat selamanya. Bu Khairiyah menangis. Keluarga besar pun berduka. Mereka mengurus dan mengantar Nisa pergi untuk selamanya.

Entah kenapa, hampir tak satu pun sanak keluarga Bu Khairiyah yang ingin kembali ke rumah masing-masing. Mereka seperti ingin menemani Khairiyah untuk hal lain yang belum mereka ketahui.

Benar saja, dua hari setelah kematian Nisa, Nida pun menyusul. Padahal, tenda dan bangku untuk sanak kerabat yang datang di kematian Nisa belum lagi dirapikan.

Inilah puncak dari ujian Allah yang dialami Bu Khairiyah sejak pernikahannya.

Satu per satu, orang-orang yang sebelumnya tak ada dalam hidupnya, pergi untuk selamanya. Orang-orang yang begitu ia cintai. Dan akhirnya menjadi orang-orang yang harus ia lupai.

Kalau hanya sekadar air mata yang ia perlihatkan, nilai cintanya kepada orang-orang yang pernah bersamanya seperti tak punya nilai apa-apa.

Hanya ada satu sikap yang ingin ia perlihatkan agar semuanya bisa bernilai tinggi. Yaitu, sabar. “Insya Allah, semua itu menjadi tabungan saya buat tiket ke surga,” ucap Bu Khairiyah kepada Eramuslim. (mnh)

(Seperti dituturkan Bu Khairiyah, warga Setiabudi Jakarta, kepada Eramuslim)

Merawat Utang


merawat_utangUtang buat keluarga kadang mirip jamur. Tidak diharapkan tumbuh, tapi bisa muncul tiba-tiba. Bedanya, jamur tumbuh di tempat basah; tapi utang muncul di saat ‘kering’.

Kehidupan keluarga memang tak bisa lepas dengan persoalan uang. Makin dinamis sebuah keluarga, pergelutan dengan uang kian sengit. Di situlah persoalan mulai muncul. Karena tidak semua keluarga selalu ‘standby’ dengan yang namanya uang.

Pertanyaan berikutnya mulai membayang: mengurangi dinamisasi keluarga, atau cari pancuran baru agar uang tetap mengalir. Kalau pilihan pertama diambil, gerak keluarga jadi lambat. Tapi, jika yang kedua dipilih, jalan yang bisa diambil cuma satu: pinjam uang alias utang.

Masalahnya, tidak semua petinggi keluarga mampu menerjemahkan kata dinamika. Dinamika bukan lagi sebagai proses pengembangan dan investasi. Tapi menjadi gaya hidup. Dan ujung dari gaya hidup cuma satu: konsumerisme. Setidaknya, hal itulah yang kini dialami Pak Mul.

Bapak dua anak ini memang wajar kalau bingung. Pasalnya, pengeluaran rumah tangganya sering lebih besar dari pemasukan. Dari dua belas bulan, tidak separuhnya yang bisa impas. Selalu kurang. Dan bingung Pak Mul, justru berada pada posisi puncak ketika hari gajian datang. Aneh kan?

Buat orang kebanyakan, hari gajian bisa dibilang saat yang paling membahagiakan. Wajar. Karena di situlah segala kesulitan terpecahkan: bayaran sekolah anak-anak, belanja dapur, biaya listrik, telepon, ongkos mondar-mandir, dan mungkin sedikit utang.

Namun buat Pak Mul, justru pembayaran terakhirlah yang menyedot kebahagiaan hari gajian. Entah kenapa, anggaran utang bagi Pak Mul selalu di urutan tiga besar: belanja dapur, ongkos, utang. Apa gaji Pak Mul tergolong sangat kecil?

Kalau menggunakan ukuran UMR atau upah terkecil daerah setempat, bisa dibilang gaji Pak Mul lumayan besar. Berkisar antara dua koma delapan hingga tiga juta rupiah. Tergolong cukup buat keluarga beranak dua. Apalagi, baru satu anaknya yang sekolah. Itu pun di bangku TK. Biaya rutinnya biasa seperti keluarga lain: dapur, ongkos, listrik, susu anak-anak, dan kontrak rumah. Memang ada satu yang terpisah, yaitu telepon. Pasalnya, Pak Mul dan isteri menggunakan hand-phone.

Lalu, pengeluaran mana yang selalu menghasilkan utang? Itulah yang sering membingungkan Pak Mul. Yang jelas, isterinya selalu memberi laporan minus di akhir bulan. Kadang sepuluh, dua puluh, bahkan bisa tiga puluh persen dari gaji per bulan.

Pak Mul tidak pernah buruk sangka dengan isteri tercinta. Tidak pernah terpikir kalau isterinya bikin laporan palsu. Justru, ia kerap mengoreksi diri. Ia jadi kasihan sama isteri dan anak-anaknya. Memang, gaji segitu masih jauh dari layak buat keluarga di kota besar. Jangankan mikirin sekolah top buat anak-anak di tahun depan, buat hidup normal saja bingung seperti ini.

Di tiap gajian itulah, Pak Mul menyimpan bingungnya buat dirinya sendiri. Ia tidak ingin isterinya yang sudah repot-repot ngatur anggaran, mesti ikut mikirin uang tambahan. Pokoknya, kalau ada yang kurang, jawaban buat isteri Pak Mul cuma satu: diganti. Lha, Pak Mul dapat duit darimana? Soal itu pun jawabannya juga cuma satu: utang.

Ada beberapa sumber yang bisa digali Pak Mul. Bisa ke kantor, teman dekat, kakak atau adik, bahkan tetangga. Ketika pinjam uang itulah, Pak Mul memohon agar tidak disampaikan ke isterinya. Sekali lagi, karena kasihan. Yang diketahui isterinya, Pak Mul menutup kekurangan itu dari penghasilan tambahan. Bisa ngajar privat, minta lembur kantor; bahkan, dan inilah yang tidak pernah diketahui orang banyak termasuk isterinya: ngojek motor. Yang penting halal dan bermartabat.

Model pinjaman Pak Mul sudah membentuk lingkaran. Dari kantor buat bayar teman dekat. Dari teman dekat buat bayar kakak. Dan seterusnya. Orang biasa menyebut: gali lubang, tutup lubang, dan gali lagi. Bahkan pernah, Pak Mul lebih banyak menggali daripada menutup. Tapi syukurnya, bapak yang lebih banyak senyum dari marahnya ini tidak pernah kecebur lubang.

Seorang teman Pak Mul pernah ngasih nasihat. Isinya, Pak Mul diminta menanyakan ke isteri soal pengeluaran yang selalu kurang. Ketika Pak Mul menjawab kasihan; sang teman menambahkan, bisa jadi ada porsi pengeluaran yang kurang wajar. Kurang wajar? Ah, penghasilan saya yang kurang wajar! Jawab hati Pak Mul, prihatin.

Nasihat apa pun kalau sudah berurusan uang dan isteri, Pak Mul cuma bisa ngelus dada. Kadang ia menangis ketika menyaksikan isterinya sibuk seharian di rumah: belanja, masak, nyuci baju, ngurus rumah, mendidik anak. Tanpa pembantu. Apalagi baby sitter.

Ingin rasanya ia bisa berangkat kerja tidak terlalu pagi, dan pulang ke rumah tidak terlalu malam. Agar, bisa bantu meringankan kerjaan isteri. Dan kalau pun libur, waktunya nyaris habis buat kegiatan sosial. Ada pengajian, rapat organisasi, kerja bakti, bakti sosial, dan lain-lain. Hanya nyuci baju yang berhasil ia lakukan selama seminggu sekali.

Minggu pagi itu begitu cerah ketika isteri Pak Mul mengajak bicara. “Saya mau kerja, Mas,” ujarnya singkat. Mendengar itu, Pak Mul trenyuh. Air matanya nyaris menitik.

Hati-hati, Pak Mul berujar, “Apa kamu tidak capek, Dik?” Isterinya tampak senyum. “Kita bisa cari pembantu, Mas. Buat ngurus rumah dan anak-anak.” Pak Mul mulai menunduk. “Ada satu lagi, Mas, kenapa saya ingin kerja,” ucap sang isteri. “Apa, Dik?” tanya Pak Mul kian prihatin. “Supaya saya bisa punya slip gaji. Soalnya, saya ingin sekali bikin kartu kredit. Supaya belanja apa saja nggak repot-repot!”

Mendengar itu, Pak Mul diam seribu bahasa. Ia bingung, harus nangis atau kembali bingung.

eramuslim.com